Preface

Always You
Posted originally on the Archive of Our Own at http://archiveofourown.org/works/46163989.

Rating:
Mature
Archive Warning:
Choose Not To Use Archive Warnings
Category:
M/M
Fandom:
Sexy Zone (Band), Johnny's Entertainment, SixTONES (Band)
Relationship:
Kikuchi Fuma/Nakajima Kento, Jesse Lewis/Nakajima Kento
Character:
Nakajima Kento, Kikuchi Fuma, Jesse Lewis, Tanaka Juri, Sato Shori
Additional Tags:
Sad and Happy, Anal Sex, Slow Burn, Angst, Fluff and Angst, slight jesse/kento, Fluff, Hurt/Comfort, Canon Compliant, Lowercase, kadang baku kadang engga, fan fiction
Language:
Bahasa Indonesia
Stats:
Published: 2023-04-01 Updated: 2023-04-03 Chapters: 2/10 Words: 3735

Always You

Summary

kento menyatakan perasaannya pada fuma setelah bertahun-tahun memendamnya.

Notes

walaupun dengan latar yang (cukup) mirip dengan dunia nyata, semua yang ada di dalam cerita ini adalah FIKSI.

sorry

“kikuchi”

kento menepuk pundak fuma yang baru saja selesai berganti baju selepas dome tour hari pertama ini.

“ya?” cueknya, masih terus merapihkan bajunya tanpa melihat ke arah kento.

“boleh ikut bentar sama aku keluar?” sang pria yang lebih tinggi menoleh, mengerutkan dahinya bingung.

“mau ngapain??” balas fuma lagi,  kento menggeleng sambil tersenyum.

“aku hanya ingin mencari udara segar, dan aku butuh teman.” fuma lantas mengiyakan keinginan teman dekatnya itu.

di luar udara berhembus kencang, hawa yang begitu dingin menusuk wajah kedua pria dewasa itu. mereka berdua duduk di sebuah bangku taman yang berada di taman dekat dome.

hening, tidak ada percakapan diantara mereka untuk sesaat, keduanya hanya saling menatap ke depan ke arah danau yang membeku.

“kikuchi.” fuma menoleh ketika nama keluarganya itu dipanggil. tiba-tiba suasana menjadi lebih hening.

“aku menyukai mu,” senyum tipis nan manis itu tergambar di wajah pria bergigi kelinci yang kini menatap fuma.

mulut fuma terbuka tanpa ia sadari, memberikan tatatpan tidak percaya pada sosok di sampingnya sekarang. mereka berdua hanya saling menatap tanpa fuma memberikan jawaban.

semua kembali hening, fuma tidak berkata apapun, pikirannya masih tidak bisa memproses apa yang dikatakan oleh sahabatnya barusan.

wajah kento yang tadinya memancarkan ekspresi bahagia kini menjadi sendu, matanya mulai berkaca-kaca melihat reaksi fuma yang sama sekali tidak membalas pengakuannya itu, tanpa terasa air mata mengalir dari ujung mata kento. tak bisa menahan lagi perasaan sedihnya itu, kento menangis dalam diam. kento pun berdiri dari tempat ia duduk.

“maaf,” lirih yang lebih tua.

fuma menatap mata berair kento, itu pertama kalinya fuma melihat kento menangis karena dirinya.

ia terkejut melihat kento menangis seperti ini, “kamu-“

“maaf.” kata-kata fuma dipotong oleh kento.

kento berlari sekencang yang ia bisa masuk kembali ke dalam dome, megemas barangnya dan segera menuju pintu keluar. saat melewati pintu keluar ia tidak sengaja menabrak sou yang baru saja kembali dari mini market.

sou reflek memegang tangan kento, “ah kenty, kamu mau kemana-“ kata-kata sou terpong.

kento menoleh ke arah sou dengan mata yang masih meneteskan air matanya. sou kaget melihat kenty dalam keadaan kacau seperti itu, tampak jelas pada muka sou bahwa ia shock.

“tolong bilang pada para staff aku pulang duluan,” singkat kento. ia melepaskan tangannya dan terus berjalan menuju gelapnya malam.

sou masih terdiam di tempat kebingungan.

kento tidak membawa mobilnya hari ini karena tadi ia datang dengan mobil agensi. pria manis itu berjalan dengan lesu, sesekali terlintas dipikiranya, bayangan mengenai fuma akan menerima pengakuannya itu. ia kira selama ini fuma juga menyukainya lebih dari sekedar teman, tapi apa yang dia lihat tadi tidak menggambarkan itu. semua itu membuat hati kento sakit, ia sudah memendam perasaannya sejak bertahun-tahun lamanya, sejak hari itu, hari dimana pertengkaran mereka berdua berakhir, saat fuma datang ke konser solonya, di momen itu kento merasakan dadanya berdebar kencang setiap menatap fuma, perasaannya yang ia kira hanya sementara ternyata terus berlanjut hingga hari ini.

langit malam yang mendung serta salju yang turun agak lebat itu seperti mendukung kesedihan pria mungil ini. sudah setengah japan kento berjalan tiba-tiba ia berhenti.

kento berjongkok lesu di pinggir jalan di bawah terangnya lampu jalan. sendirian, tubuhnya bergetar menahan tangis, air mata terus mengalir tanpa henti dari matanya yang sudah sangat sembab itu. udara dingin bulan desember terus menerpa dirinya yang malang, meringkuk bagaikan anak anjing yang kehilangan induknya di badai salju.

ada suara langkah kaki yang mendekatinya, kemudian kento menoleh merasakan ada yang menepuk pundaknya, “kiku-“

matanya tidak melihat sosok yang ia kenal, melainkan seorang pria paruh baya yang sepertinya sedang mabuk.

“hai cantik. oh wow, kamu laki-laki ternyata, tapi gapapa, badanmu sama menggiurkannya dengan perempuan-perempuan di rumah bordir tadi.”

bau alkohol yang menyengat keluar dari mulut pria itu, membuat kento sedikit mual.

pria paruh baya itu menarik pinggang kento dan meraba-rabanya. kini kento merasakan takut yang amat sangat, tidak ada satu orangpun di sini jadi tidak ada gunannya juga ia berteriak.

“t-tuan, tolong lepaskan saya,” panik.

kento berusaha melepaskan tangan pria itu dari pinggangnya.

“hmm, ternyata suara mu juga tidak kalah manis.” tangan pria itu ingin memegang dagu kento tapi tiba-tiba ada tangan yang menahannya.

“lepaskan dia,” dengan suara berat nan mengintimidasi, sosok itu menatap tajam pada pria mabuk yang mencabuli kento.

suara yang tidak asing itu membuat kento reflek menoleh, itu adalah fuma.

“siapa kau hah!?” pria itu terdengar marah

tangannya yang masih bebas sudah siap menonjok muka fuma, tapi sekali lagi fuma menahan tangan itu.

“tidak penting aku siapa, yang penting adalah kamu jauh-jauh dari dia. sekarang.”

fuma memelintir tangan pria paruh baya itu, membuatnya merintih kesakitan, sesaat setelah fuma melepaskannya, pria itu langsung lari terbirit birit.

“kamu gapapa??” tanya fuma dengan nada khawatir pada perkataannya.

fuma memegang kedua pundak kento dan menelusuri tubuh kento dari ujung kaki hingga ujung kepala. tatapan nya terlihat khawatir.

“kenapa kamu ke sini,” ucap kento ketus.

dalam posisi menundukan kepalanya.

“tadi saat kau tiba-tiba lari aku mengejarmu, lalu sou bilang kamu pulang. aku tau kamu tidak mungkin kemana mana selain ke apartment mu jadi aku mengejarmu dan melihat yang terjadi barusan. aku khawatir, kenty.”

kento tersentak, itu pertama kalinya fuma memanggilnya dengan sebutan itu, selama ini fuma terus memanggilnya nakajima, tapi semua rasa senang itu ia tepis, ia tau itu bukan berarti apapun.

“terimakasih sudah membantuku.” kento menatap mata fuma.

“tapi tolong, jangan berlagak kau perhatian denganku, aku tidak mau berharap lagi,” pinta pria yang sedikit lebih pendek itu. air mata kembali meluncur keluar dari ujung mata kento.

fuma kaget dengan reaksi yang kento berikan. kento menunduk berterimakasih kepada fuma.

“terimakasih sekali lagi, aku pergi dulu.” tanpa menunggu jawaban dari fuma, ia langsung berbalik dan terus berjalan tanpa melihat ke belakang lagi.

“kenty…..”

tangan fuma serasa ingin menggapai punggung yang menjauh di gelapnya jalanan malam Tokyo. tapi entah kenapa ia tidak bisa bergerak dari tempatnya sekarang, dan mengapa juga ada perasaan sesak yang ia rasakan saat sosok itu menjauh darinya.

kento memanggil taksi yang lewat untuk mengantarnya kembali ke apartment, kakinya sudah terlalu lemas untuk melanjutkan berjalan.

saat sudah berada di lobby ada beberapa orang yang hendak menyapa nya tapi tidak jadi, mungkin karena melihat keadaannya saat ini.

sesampainya di depan pintu kamarnya ia dengan buru-buru menekan sandi pada pintu itu.

pintu terbuka, kaki itu segera melangkah masuk dan menutup pintu itu rapat-rapat. ia tertuduk lemas, menyenderkan punggungnya pada pintu, “sudahlah, tidak ada gunanya berharap,” gumamnya pada diri sendiri.

 

rambut basah itu meneteskan bulir-bulir air ke badan mulus pria 28 tahun ini. ia baru saja selesai mandi, mencoba menyegarkan pikirannya.

kali ini ia hanya mengenakan celana training abu-abu tanpa atasan. merebahkan dirinya di atas kasur, memandangi langit-langit kamarnya. tak terasa air mata mengalir dari ujung matanya, ia menyesali pengakuannya kepada fuma tadi, seandainya waktu bisa diulang pasti kento tidak akan membiarkan dirinya mengungkapkan perasaannya itu kepada fuma.

sekarang sudah terlambat.

kento meringkukan badanya, tidak tahu apa yang akan dia lakukan nanti, bersikap biasa? cuek? menghindarinya? atau bersikap dingin kepadanya? entahlah, semua pikiran itu membuat kepala kento sakit.

alarm berbunyi membangunkan sosok yang nyaris terjaga semalaman karena menangis. kento mendudukan dirinya, mengambil hpnya dan mengirim pesan pada staff bahwa dia tidak masuk untuk latihan hari ini. kento tidak mau melihat wajah fuma dulu untuk saat ini, ia ingin menenangkan dirinya dulu.

 

— tempat latihan

“selamat pagi”

fuma menyapa para staff, sou, shori dan- “eh? dimana nakajima?”

salah satu staff menyahut, “nakajima-san bilang hari ini tidak datang.” fuma hanya mengangguk sebagai balasan.

“fuma-kun, apa yang terjadi diantara kalian berdua?” interogasi sou, menghadang pria yang lebih tinggi dihadapannya.

“aku lihat kalian berdua pergi ke taman belakang dome kemarin dan kenty kembali dengan keaadan menangis, kalian bertengkar?” shori menambahkan dengan ekspresi bertanya terdengar khawatir. fuma tidak tahu harus menjawab apa, ia belum mau memberitahu yang lain mengenai ini.

“semuanya ayo berkumpul!” teriak salah satu staff. sungguh timing yang pas, pikir fuma. ia tidak harus menjawab pertanyaan shori dan sou sekarang.

sepanjang hari fuma terus menghindari pertanyaan shori dan sou mengenai kento. saat hari mulai gelap mereka semua sudah selesai latihan, fuma buru-buru mengambil hpnya, berusaha menelfon kento. selama latihan ia tidak bisa fokus memikirkan pengakuan kento kemarin malam.

ia tidak merasa memiliki perasaan spesial untuk kento, mungkin. tapi entah mengapa ia khawatir.  ‘aku sudah menganggapnya seperti saudaraku’ pikirnya berusaha mengelak dari perasaannya sendiri.

di sisi lain ponsel, kento hanya mendiamkan ponselnya yang terus bergetar, ia tidak peduli siapa yang menelpon, ia hanya ingin sendiri dulu. seharian ini ia sama sekali tidak beranjak dari ranjang, tidak untuk makan sekalipun, belum ada sebutir nasi pun yang ia telan hari ini. lama kelamaan dering ponsel itu mengganggunya, dengan kesal kento mengangkatnya tanpa melihat siapa yang menelponnya.

“kenty?”

suara berat fuma membuat kento kaget, hingga ia terduduk di ranjang empuknya. tapi kento berusaha dengan santai menjawabnya.

“ya? ada apa?”

kento dapat mendengar helaan nafas dari  speaker ponselnya.

“kenapa kamu tidak datang hari ini?” interogasi fuma, tapi ia tidak mendengar jawaban dari seberang telepon sama sekali.

hening sesaat, fuma memutar otak berpikir pertanyaan apa yang sekiranya akan dijawab oleh kento.

“udah makan?” akhirnya fuma melontarkan pertanyaan klasik.

“belum,” jawab kento singkat.

“kalau begitu aku ke sana ya? aku bawain makan.”

kento rasanya ingin sekali mengiyakan, tapi entah mengapa rasanya ia tidak mau.“kikuchi, aku sudah bilang padamu kemarin, tolong jangan buat aku semakin berharap padamu.” kemudian kento menutup telepon itu secara sepihak.

“halo? kenty? halo?”

fuma hanya bisa menghela napas melihat ke ponselnya. akhirnya ia mengantongi ponsel itu lagi.

“kamu pasti belum makan seharian kan, kenty. benar benar sudah kebiasaan mu dikala sedih,” gumamnya melihat ke arah langit seakan sedang berbicara pada kento.

fuma tetap mampir ke salah satu tempat biasa mereka makan bersama, membelikan kento pasta carbonara kesukaannya. sepanjang jalan ia terus memikirkan bagaimana perasaannya saat ini terhadap kento, ia masih bingung dan tentu saja shock, tapi raganya tidak bisa jauh dari kento, padahal ia tidak merasa ‘menyukai’ kento lebih dari sekedar sahabat.

sesampainya di depan apartment kento. ia menghela nafas, fuma mengetuk pintu itu.

“kenty, ini aku.”

dari dalam kento dapat mengetahui bahwa yang datang adalah fuma.

“brengsek, sudah aku bilang tidak usah datang,” dengan nada kesal pada perkataannya karena kedatangan fuma yang sama sekali tidak ia harapkan. dengan terpaksa kento membuka pintu itu.

“kan aku dah bilang gausah da-“ ucapan kesal kento terpotong dengan sosok bersurai hitam di depannya yang menyodorkan sekotak pasta carbonara.

“nih, makan dulu”

fuma tidak tega melihat wajah pucat kento, benar benar sendu wajah yang ada di depannya sekarang, dan yang menyebabkan itu tidak lain adalah dia sendiri.

“ambil, ini pasta carbonara.” fuma menggoyangkan kotak yang daritadi hanya ditatap oleh kento, yang lebih mungil pun lalu mengambilnya dengan sedikit ragu.

“terimakasih,” ucap kento sembari menutup pintu, tapi pintu itu ditahan oleh fuma.

“setidaknya persilahkan aku masuk dulu, aku sudah jauh jauh ke sini lho,” pinta fuma, ia tersenyum tipis berusaha meluluhkan pria di depannya. akhirnya kento mempersilahkannya untuk masuk.

tidak ada perbincangan apapun, hanya fuma yang terus menatap kento yang sedang asik menikmati makanannya.

“harus banget ngeliatin gitu terus?” kento berkata dengan nada jengkel, ia agak risih ditatap begitu saat sedang makan.

“maaf”

fuma mengalihkan perhatiannya ke arah lain, mengamati setiap sudut ruang itu, benar-benar penuh dengan barang mahal dan branded, kalau itu nakajima kento sudah tidak heran lagi, pikirnya. matanya kini tertuju pada sebuah kacamata ber-frame bening bulat yang ada di sebuah rak pajangan, ia ingat sekali itu adalah hadiah yang ia berikan pada kento 2 tahun lalu saat ulang tahunnya. di samping kacamata itu terdapat sticky note ungu yang sudah dilaminating dan diberi penyangga, dengan tulisan ‘happy bday -from your F’ itu adalah ucapan selamat ulang tahun yang ia berikan pada kento waktu itu, kento menyimpannya, bahkan sampai memajangnya, fuma kini bertanya-tanya, seberharga kah dirinya bagi kento?

“kenty”

“hm?” kento hanya menjawab dengan deheman, tanpa melihat ke arah fuma.

“maafkan aku, aku akan menjawabmu jika aku siap”

kento terbatuk mendengar pernyataan fuma, kemudian yang lebih muda menyodorkan segelas air agar kento tidak tersedak.

secara teknis fuma sama sekali belum menjawab pengakuan kento saat itu, ia berniat menjawabnya jika dia sudah tau bagaimana harus memberi jawaban pada kento.

setelah kento selesai makan, fuma pulang dan kento kembali meringkuk di kasurnya “kikuchi fuma, tolong jangan seperti ini,” lirihnya menatap bingkai foto yang berada di nakas samping mejanya, fotonya dengan fuma saat pergi ke disneyland bersama. betapa bahagianya.

 

-to be continue

 

 

him. again

hari demi hari berlalu, kento dan fuma harus tetap bekerja bersama, tentu karena mereka berada dalam satu grup yang sama. interaksi mereka tidak dapat dihindari, mau tidak mau kento akan bertemu dengan fuma nyaris setiap hari.

kento tetap berinteraksi dengan fuma tetapi tidak lagi sama seperti dulu. senyuman hangat, nada antusias, dan candaan dari yang lebih tua digantikan dengan perlakuan dingin terhadap fuma.

kento melakukan itu semua agar ia tidak kembali berharap kepada fuma, menurutnya akan lebih baik jika ia bisa meminimalisir interaksi yang dapat membuat kento kembali berharap pada pria yang setahun lebih muda darinya itu.

kento masih tetap orang yang sama untuk shori dan sou, tetapi sikap nya berubah 180° jika itu menyangkut fuma. semua itu membuat fuma frustasi, ia ingin kento yang lama kembali, kento yang memanggilnya dengan sebutan ‘my F’.

tapi di sisi lain fuma masih bingung dengan perasaannya, setiap kali ia berpikir apakah ia ‘menyukai’ kento lebih dari sekedar teman? apakah ia juga memiliki perasaan yang sama dengan kento?

seketika memori kebersamaan mereka berdua muncul di kepala fuma, membuatnya berpikir apakah mungkin benar kalau dia……tidak. tidak mungkin.

semua pikiran-pikiran mengenai dirinya yang ‘mungkin’ juga memiliki perasaan kepada kento langsung ditepis jauh jauh olehnya, entah karena takut atau bagaimana, fuma juga tidak tahu. pikirannya kacau, selama ini fuma selalu menganggap kento sebagai teman terdekatnya, tetapi setelah sahabatnya ini menyatakan cinta padanya di malam itu membuat fuma berpikir dua kali mengenai perasaannya yang sebenarnya terhadap kento.

pria dengan tinggi 178cm itu terduduk di lantai keras tempat mereka berlatih dance, menatap kento yang sedang berbicara dengan pelatih dance mereka, fuma menghela nafas dalam, “kenty, kemarilah.”

kento tidak mungkin menghindari fuma di tempat ini, banyak staff dan member lain yang mungkin akan menyadari perubahan sikapnya. ia berusaha agar semua hal yang terjadi diantara mereka tidak terlalu terlihat. kento berjalan ke arah fuma dengan segan.

“kenapa?” tanya kento ketus, menyilangkan kedua tangannya di depan dada, menatap ke bawah tempat fuma duduk.

yang lebih muda membuat gestur menyuruh kento duduk di sampingnya. kento memutar matanya, dengan malas dia duduk di sebelah fuma.

“sampai kapan kamu akan mendiamkan ku seperti ini?” lirih fuma dengan tatapan sedih memandang kento. di matanya, kento adalah salah satu makhluk paling indah yang pernah ia temui, kulit putih mulus, pinggang ramping, suara yang indah, wajahnya yang tampan dan cantik disaat bersamaan. semua hal itu membuat fuma bimbang.

ia juga tidak tahan didiamkan oleh kento seperti ini, fuma sudah terbiasa dengan kehadiran hangat sang pria manis yang mewarnai hari-harinya selama bertahun-tahun.

yang lebih tua memilih tidak menjawab pertanyaan fuma tadi. membuat fuma menghela napas, apa yang harus ia lakukan agar kento mau bicara dengannya?

“ayo minum habis ini, aku yang traktir”

kento mengerutkan dahinya, menatap sosok di sampingnya ini, dengan tatapan tidak mau, “aku tidak-“

fuma memegang pundak kento dengan satu tangannya dan sedikit mencengkramnya, “aku memaksa.” kento bergidik ngeri melihat tatapan fuma yang seperti akan menghabisinya jika ia menolak, kento masih sayang dengan nyawanya.

akhirnya kento mengangguk mengiyakan, lagi pula hanya sekedar minum bersama kan? tidak mungkin bisa lebih buruk?

 

—Bar

mereka duduk bersebelahan di sebuah sofa yang mengelilingi meja bundar di depannya. dua gelas berukuran sedang yang berisi minuman beralkohol dengan kadar alkohol yang cukup tinggi sudah tersedia di depan mereka–kento yang memesannya. hal itu membuat fuma memincingkan matanya menatap pria mungil di sampingnya.

‘bukannya dia cepat mabuk?’ batin fuma sembari menyeruput bir yang ia pesan.

kento menegak minuman itu dengan tidak santai, satu gelas berukuran sedang itu habis dalam hanya beberapa tegukan saja, fuma yang melihatnya melotot karena ia tidak pernah melihat orang meminum alkohol secepat itu.

tak lama setelah menghabiskan dua gelas kento memesan satu gelas lagi. pria dengan marga nakajima itu terus menegak minumannya sementara fuma bahkan belum menghabiskan separuh dari birnya itu.

“hey sampai berapa liter kamu akan meminum itu,” celoteh fuma melihat wajah kento yang mulai memerah karena pengaruh alkohol.

kento menoleh, dengan mata sayu, bibir yang terbuka sedikit, dan hembusan napas yang sedikit tidak teratur.

“fuma jelek, fuma jahattttt,” teriak kento tidak jelas.

orang ini sudah mabuk.

mendengar nama panggilannya disebut oleh kento membuat hati pria yang belum terpengaruh alkohol itu menghangat, sudah lama tidak mendengar makhluk lucu ini memanggil nama panggilannya. tidak terasa ujung bibir fuma terangkat.

“aku suka, aku cinta, aku sayang sama fuma tapi fuma gasuka sama akuuuu” celoteh pria di samping fuma ini dengan raut wajah tidak jelas. terdengar suara gebrakan meja di samping fuma, membuatnya sedikit terkejut, ternyata kento ambruk ke meja dan tidak sadarkan diri.

‘oh…..’ fuma merasa bersalah.

tangan besar itu menggapai puncak kepala kento yang masih berada di atas meja, mengelus surai hitam itu dengan lembut.

“aku harap kita bisa segera meluruskan semua ini, aku tidak ingin hubungan kita sekarang menjadi renggang, aku hanya….” perkataan fuma terjeda, matanya tertuju pada betapa indah wajah di depannya ini, tak terbayang wajah ini adalah wajah orang terdekatnya yang ia sakiti saat ini.

itu membuat fuma sedih.

“fuma….” mata yang tadinya terpejam itu kembali menampakan benik hitamnya, masih dengan tatapan sayu, kento menatap sosok pria di depannya sekarang.

tiba-tiba kento duduk dengan benar kembali dan mengalungkan tangannya di leher fuma. sontak membuat pria yang lebih muda itu memundurkan badannya.

“aku mencintai mu, kikuchi fuma.”

deg

bibir kento mendekat, membukanya setengah, mengarahkan bibirnya pada bibir milik fuma, deru nafas kento kini sangat terasa di depan wajah pria 27 tahun itu. belum sempat bibir mereka bersatu, fuma mendorong kento hingga pria yang lebih mungil darinya itu tergeletak di sofa tempat mereka duduk, tidak sadarkan diri lagi.

‘fuck, kenapa mukaku rasanya panas sekali’ batin fuma sembari memegang dadanya, merasakan degup jantung yang menjadi lebih cepat dari sebelumnya.

fuma memijat keningnya, pusing. ia menatap kento yang tidak sadarkan diri disampingnya “lebih baik kita pulang,” ujarnya kepada kento yang tidak mungkin merespon perkataannya.

setelah membayar bill dan memapah pria manis itu masuk ke dalam mobil miliknya, fuma menancapkan gas menuju apartment kento.

 

mereka kini sudah berada di depan pintu kamar kento, dengan posisi fuma menggendong kento ala bridal style. sandi kamar ini sudah di luar kepala fuma, tanpa perlu berpikir lagi ia langsung menekan angka-angka pada smart lock door itu. pintu terbuka dan fuma masuk beserta pria mungil di gendongannya ini, dengan hati-hati ia menaruh kento di ranjang, melepas sepatu dan kaos kakinya.

“tidur yang nyenyak,” ucap fuma sembari menarik selimut menutupi badan kento yang masih terlelap. sebelum meninggalkan kamar itu fuma menaruh segelas air di nakas samping ranjang.

saat menaruh segelas air itu fuma melihat fotonya dengan kenty. dipajang.

ia menatap foto itu untuk sesaat, mengambilnya dan mengelus foto itu dengan ibu jarinya, “bagaimana aku tidak tahu selama ini?”

 

mentari pagi menyinari kamar itu, menembus celah-celah tirai kamar apartment kento. pria yang berada di penghujung kepala dua itu menggeliat di atas kasurnya, tenggorokannya sakit. perlahan ia membuka matanya, melihat sekeliling bingung, bukannya kemarin ia pergi minum dengn fu-

‘oh shit’

kento sontak terbangun dan terduduk, bersandar pada headboard ranjangnya. ia memijit keningnya berusaha mengingat apa yang terjadi semalam. sialnya otak pria itu tidak dapat mengingat detail kejadiannya, yang bisa ia ingat hanyalah betapa banyak minuman alkohol yang ia tegak semalam. kali ini ia hanya berharap tidak melakukan hal-hal aneh pada fuma. jika iya, mimpi buruknya menjadi kenyataan.

tenggorokannya terasa sakit, mungkin efek dari alkohol yang ia konsumsi semalam. ia beranjak dari ranjangnya berniat mengambil segelas air di dapur, tetapi matanya tertuju pada gelas berisi air yang sudah berada di nakas samping rangjangnya. ia tidak ingat pernah mengambil air, dan siapa lagi yang bisa masuk ke kamarnya selain fuma?

“jadi dia benar-benar mengantarku ya,” ucapnya sembari mengambil gelas air itu dan menegaknya hingga habis tak bersisa setetes pun. gelas yang sudah kosong itu ditaruhnya kembali di nakas.

kento membuka ponselnya, menatap nama kontak fuma di layar ponsel itu, berpikir cukup lama apakah dia harus menelpon nya untuk berterimakasih–dan mungkin bertanya apa yang terjadi tadi malam.

setelah cukup lama berpikir akhirnya kento menekan icon telepon pada kontak fuma, menelpon nya. tidak lama kemudian diangkat oleh si pemiliki nomor.

“halo?” suara dari seberang telpon itu membuat kento sedikit berdebar.

dengan menarik napas dalam ia menjawab “kamu yang mengantarku semalam kan? terimakasih, maaf sudah merepotkan.”

“ahhh itu, iyaa, sama sekali tidak merepotkan kok, lagipula tidak mungkin aku membiarkan dirimu tidak sadarkan diri sendirian di sana.” kento dapat mendengar fuma terkekeh di seberang telpon.

kento terseyum, benar juga perkataan ‘teman’ nya ini. “ah kamu udah minum air yang aku taruh di samping ranjang mu?”

“tadi tenggorokan ku sakit jadi sudah aku minum untuk meredakannya,” jelas kento.

“baguslah kalau begitu, jangan lupa minum air yang banyak,” perintah fuma kepada pria di seberang telpon.

‘kenapa dia masih se-perhatian ini setelah aku diamkan berhari-hari…..’ batin kento sedikit sedih–dan senang di saat yang bersamaan.

‘tapi aku sudah bertekad untuk tidak berharap lebih padanya, aku harus kuat.’

“halo? kenty? kamu masih di sana?” suara itu menyadarkan kento dari lamunan nya.

“ah iya iya, maaf,” paniknya karena daritadi ia tidak mendengar fuma memanggilnya berkali kali.

“sepertinya kau masih lelah, kalau begitu aku matiin ya telpon nya, kamu istirahat aja, bye bye.” tanpa menunggu jawaban dari lawan bicaranya, fuma menutup panggilan itu secara sepihak.

 

kento melempar ponsel nya ke kasur dan menghembuskan napas kasar. kemudian ia berjalan ke samping jendela kamarnya, cuacanya cukup cerah, sudah lama kento tidak mengajak bonita—anjing kesayangannya pergi jalan-jalan, pikirnya.

 

bonita dengan riang berjalan di samping pria dengan tinggi 176cm itu, mereka sedang menuju ke taman kota yang letaknya tidak jauh dari apartment kento. udara sedikit dingin pagi ini, beruntung ia memakai baju 2 lapis, dan bonita juga dipakaikan baju dengan rok mini berwarna merah yang lucu, membuat setiap orang yang lewat gemas saat melihatnya.

mereka sudah tiba di taman kota, banyak orang yang duduk-duduk sendirian, mengajak hewan peliharaannya jalan-jalan–seperti yang dilakukan kento saat ini, atau pasangan-pasangan yang berkencan di sini.

kento iri melihat pasangan-pasangan itu berjalan dengan begitu bahagia.

setiap pria itu sedang sendiri, yang ada di pikirannya hanya fuma, fuma, fuma, dan fuma. tapi ketika berhadapan dengan orangnya langsung, ia tidak mau menyapa, bahkan bersikap dingin. dia kesal, padahal dia juga tau fuma tidak salah sama sekali, dirinya lah yang membuat semua ini kacau.

ditengah lamunannya, kento mendengar ada yang memanggilnya dari arah belakang. kento reflek menoleh.

“kenty!”

sosok yang lebih tinggi darinya itu mendekati kento. wajah khas blasteran yang sudah tidak asing lagi baginya itu tersenyum ke arahnya.

“ah, jesse!”

 

–to be continue

 

 

 

 

 

 

 

 

Afterword

Please drop by the archive and comment to let the author know if you enjoyed their work!